PREMIUM EDITION "NIKMATI PENGALAMAN MEMBACA TANPA IKLAN MENGGANGGU *** TERTARIK BIKIN WEBSITE SECANGGIH INI HUBUNGI REDAKSI : AYOSUROBOYO
BERITA UTAMA
Beranda » Petrus dan Kentus Bukti Tak Ada Ruang Tawar Menawar oleh Negara

Petrus dan Kentus Bukti Tak Ada Ruang Tawar Menawar oleh Negara

AYOSUROBOYO | Nasional – Ketika suatu negara lebih memilih Tangan Besi demi stabilitas kota-kota yang dikuasai Preman, Di awal dekade 1980-an, Indonesia tengah berada dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru.

Di atas kertas, kondisi politik terlihat stabil. Partai politik dipersempit, media dikontrol, pembangunan ekonomi berjalan. Namun, di lapangan, kehidupan masyarakat urban justru diwarnai keresahan baru. Premanisme dan kriminalitas jalanan memuncak drastis.

Kelompok preman yang populer disebut “GALI (gabungan anak liar) kerap menguasai terminal, pasar, stasiun, hingga jalanan kota-kota.

Mereka tak pandang bulu memalak pedagang, menguasai parkir liar, terlibat perjudian, hingga tindak kekerasan. Identitas mereka hampir selalu sama bertato, berkelompok, dan hidup dari tindak kriminal.
Di mata masyarakat, para Gali ini bukan hanya perusuh, tetapi juga simbol kegagalan aparat hukum. Polisi dianggap tak berdaya tidak mampu menertibkan mereka, sementara sistem pengadilan dinilai lambat memberi efek jera. Atas hal itu, Negara menjawab melalui jalan pintas mengenakan tangan besi.

Dalam kondisi itulah, rezim Soeharto menilai perlunya tindakan keras. Stabilitas sebagai kata kunci utama Orde Baru tak boleh diganggu. Premanisme dianggap tidak hanya soal kriminal namun berpotensi mengganggu citra politik serta keamanan Nasional.

Seiring gaung pemerintahan akan stabilitas Nasional “lahirlah kebijakan yang tak diumumkan secara resmi namun sangat nyata jadi tontonan rakyat dengan berbalut, Operasi Penembakan Misterius (Petrus).

Ya” Petrus biasa orang menggunjingkan dengan mengumpat” Operasi ini digerakkan oleh aparat militer melalui jaringan Kodam dan Kodim.

Targetnya, tak lain preman-preman bertato, pemimpin kelompok kriminal, hingga orang-orang yang dicurigai meresahkan.

Dengan senapan dan cara tangan besi” penangkapan preman- preman dilakukan pada malam hari, eksekusi di luar hukum, kemudian mayat ditinggal di ruang publik.

Sebuah metode psikologis sekaligus represif, bukan hanya menyingkirkan preman, tapi juga menanamkan rasa takut ke seluruh masyarakat.

Rantai Eksekusi dari penangkapan hingga mayat tak bernama. Langkah-langkah yang berulang ini terlihat jelas

1. Identifikasi – Daftar nama dikumpulkan berdasarkan laporan intelijen, aparat lokal, hingga informasi masyarakat.

2. Penangkapan – Biasanya malam hari. Korban dibawa diam-diam tanpa surat resmi.

3. Interogasi singkat – Sebagian mengalami penyiksaan untuk informasi jaringan.

4. Eksekusi – Ditembak di kepala atau dada.

5. Pesan visual – Mayat ditemukan di pinggir jalan, sungai, atau kebun, seringkali dengan tangan terikat dan mulut disumpal.

Ada pula mayat yang sengaja dibiarkan tergeletak berjam-jam di tempat ramai, sebagai “papan pengumuman hidup” bahwa negara sedang bekerja.

Operasi Petrus dinilai Internasional menimbulkan shock effect luar biasa. Tukang tato gulung tikar. Banyak orang menghapus tato mereka dengan asam atau benda panas. Banyak Preman melarikan diri kabur ke desa-desa, bahkan ada yang sembunyi di hutan.

Melihat situasi itu, warga lega. Di kota-kota besar, rasa aman perlahan kembali. Orang-orang merasa aman bebas beraktivitas malam hari tanpa takut.

Data resmi memang tidak pernah diumumkan, tetapi berbagai sumber menyebut antara 2.000 hingga 10.000 orang tewas dalam operasi ini antara 1982–1985.

Salah satunya ” Kasus KENTUS, Bukti bahwa tak ada jaminan bagi Preman untuk berdampingan dengan Negara. Meski kebijakan ini efektif, kasus seperti” Kentus dari Yogyakarta memperlihatkan sisi kerasnya tangan besi pemerintah.

“Kentus, julukan preman kecil bertato yang sempat mencari perlindungan pada, LBH di Jakarta. Bahkan kabarnya ada jaminan tertulis dari pihak Kodim jika Kentus tidak akan dieksekusi.

Namun kabar tersebut hanya seminggu, Kentus,  kembali ditangkap dan dipulangkan ke Yogyakarta lalu hilang tanpa jejak. Banyak yang percaya ia dieksekusi dan dikubur di kuburan massal.

Kasus ini mempertegas bahwa dari dalam operasi ini, oleh Negara tidak ada ruang tawar-menawar.

Kebijakan tangan besi tanpa pengumuman ini menimbulkan Pro dan Kontra di Masyarakat. Pendukung kebijakan ini berargumen” Preman benar-benar membuat warga resah, dan hanya Petrus  yang bisa menghentikan mereka.

Petrus adalah “kejahatan untuk melawan kejahatan” demi stabilitas dalam Negeri. Tanpa tindakan itu, kota-kota besar mungkin semakin kacau.

Adapun” penentang kebijakan ini mengingatkan banyaknya korban yang sebenarnya bukan kriminal, hanya karena salah penampilan memiliki tato.

Eksekusi di luar hukum melanggar prinsip keadilan dan HAM. Ada kasus salah sasaran, bahkan dendam pribadi atau bisnis yang dibungkus dengan label “preman.”

Namun, pada masa itu, suara pro lebih dominan, karena masyarakat merasakan efek nyata berupa rasa aman hingga penurunan kriminalitas.

Pada dekade itu, Negara diam, media dibungkam. Selama berlangsungnya operasi, pemerintah tidak pernah mengakui secara resmi sedangkan pihak Media hanya boleh memberitakan sosok mayat-mayat terbengkalai itu sebagai korban tawuran atau perkelahian “antar preman.”

Kontrol pers yang dikekang ketat saat itu membuat publik tidak pernah benar-benar tahu jumlah korban akibat kerasnya operasi itu, Hanya setelah tumbangnya Orde Baru, fakta demi fakta mulai dikumpulkan oleh sejumlah aktivis HAM dan lembaga independen.

Seiring perjalanan arah politik era itu” Akhir operasi dan pengakuan puluhan tahun kemudian. Sekitar tahun 1985, operasi mulai reda. Premanisme menurun drastis, meski tidak hilang sepenuhnya, jumlah korban tetap misterius.

Baru pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Petrus adalah bagian dari pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini, tak satu pun pelaku atau komandan operasi dipanggil diadili.

Media dibungkam. Stabilitas dibeli dengan nyawa. Operasi Petrus adalah paradoks Orde Baru. Disatu sisi, Petrus menciptakan rasa aman nyata bagi masyarakat. Di sisi lain, Petrus menyisakan luka HAM diperdebatkan hingga kini.

Sejarah mencatat” Petrus bukti bahwa stabilitas bisa diraih dengan tangan besi. Akan tetapi ketertiban yang lahir atas ketakutan bukanlah ketertiban sejati.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds