AYOSUROBOYO| Surabaya – Cerita Dahlan Iskan telah masuk fase krusial. Mulai bongkar-bongkar rahasia dan tentu akan panjang berseri ceritanya.
Begini. Terjadi pertempuran sengit antara raja yang terusir dan istana yang tak rela melepas bayangan masa lalu. Ini bukan fiktif, tapi nyata adanya, berjudul Jawa Pos vs Dahlan Iskan: Episode Saham, Dendam, dan Dokumen yang hilang entah di mana.
Dulu, Dahlan Iskan sosok Mahaguru, Begawan, pencipta sekaligus penggerak semesta Jawa Pos. Namanya melekat, mengalir bersama tinta berita.
Dahlan adalah Jawa Pos. Jawa Pos adalah Dahlan. Seperti kertas dan tinta, seperti harga saham dan spekulasi. Tapi zaman berubah, loyalitas memudar, dan akta-akta mulai dibaca dengan kacamata serakah. Tiba-tiba, sang pendiri pun jadi tersangka.
Isunya cukup epik, Rp 89 miliar dividen dari PT Dharma Nyata Press (DNP), yakni Perusahaan yang menaungi Majalah Nyata, dituding tidak disetorkan oleh Dahlan dan Nany Wijaya kepada PT Jawa Pos. Dividen itu, disebut pihak Jawa Pos, adalah bagian dari hasil 2014 hingga 2016. Lalu, entah kekuatan kosmis mana pada tahun 2017, semuanya macet. Tak ada lagi dividen mengalir yang ada hanya gugatan dan jumpa pers.
Jawa Pos, yang merasa sebagai induk perusahaan, mengklaim punya hak atas DNP (Majalah Nyata). Mereka meyakini DNP dulu hanya “pinjam nama” Dahlan dan Nany.
Baca juga : Napak Tilas Sritex
Ajaib ! Di dunia hukum Indonesia, di mana setiap huruf dalam akta harus diteken tiga kali dan disahkan notaris, muncul konsep spiritual, pinjam nama. Sebuah Doktrin tak biasa yang tak tercantum dalam UU PT maupun UU Penanaman Modal. Seakan-akan saham itu bisa dipegang lewat kekuatan batin dan sentuhan telepati antar komisaris.
Tentu, kubu Dahlan Nany tak tinggal diam. Sang pengacara, Johanes Dipa Widjaja, muncul sebagai Gandalf di tengah pertarungan akta. Ia menyatakan, “Jawa Pos bukan pemegang saham. Jadi tidak berhak atas dividen yang diakuinya.
Lihat saja di AHU, semua bisa akses.” Ini sebuah tamparan digital di era transparansi. Kalau ingin saham, ya beli. Kalau ingin dividen, ya pegang saham. Jangan ngaku-ngaku karena dulu pernah satu tim.
Dalam dokumen AHU (Administrasi Hukum Umum), jelas terlihat siapa pemilik DNP. Apa Jawa Pos ? Tidak tercantum. Mereka hanya nostalgia tanpa kepemilikan tapi tetap nekat, seperti orang yang ngaku punya cafe padahal cuma sering ngopi di sana.
Ironisnya, ketika Dahlan ingin mengambil kembali dokumen dan barang-barang pribadinya di kantor Jawa Pos, ia harus melapor ke polisi. Sang pendiri, yang pernah membangun kerajaan itu dari nol, kini seperti tamu asing.
Kisah ini kini terus bergulir. Jawa Pos bahkan melaporkan Nany ke polisi, dan membuka kemungkinan tersangka tambahan. Sementara publik dibuat geleng kepala, karena jelas, tak ada bukti akta. Tak ada saham, tapi masih ada tuntutan Rp 89 miliar. Kalau ini bukan lelucon korporat abad ini, maka kita tak tahu apa lagi yang lebih absurd.
Dahlan Iskan bagai difitnah oleh halaman koran yang dulu dia hidupkan. Ia tidak sempurna tapi setidaknya dirinya tidak ngaku-ngaku saham orang sebagai miliknya. Sejarah mencatat. Bukan narasi power point direksi yang baru belajar merger.
Jika pembaca dihadapkan pada pilihan antara Jawa Pos dan Dahlan Iskan, ingatlah sabda kuno di Bursa Efek Absurd, “Saham itu milik yang tercatat, bukan yang merasa dekat.” Untuk Jawa Pos jika benar merasa punya hak, silakan buktikan tapi jangan bawa-bawa kerana kepemilikan sebab ini dividen.