SELAMAT DATANG DI SITUS BERITA AYO SUROBOYO NUSANTARA BARU INDONESIA MAJU
Napak Tilas Sritex

Napak Tilas Sritex

AYOSUROBOYO  | Sritex resmi meninggal dunia. Kemarin. Persis bersamaan dengan hari pertama bulan Ramadan: 1 Maret 2025. Loh memang bisa bangkrut ??

Sritex hanya tinggal cerita
Foto : catatan Dahlan Iskan 


Begini " Hari itu kurator telah menetapkan Sritex harus dikubur. Sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan Semarang, empat bulan lalu, Sritex memang sudah disuntik mati. Sudah dimatikan jaringan batang otaknya. Saat bangkrut kemarin umurnya 59 tahun. Persis 10 tahun setelah meninggalnya sang pendiri: Haji Lukminto (Ie Djie Shien). Namun setidaknya Sritex sudah pernah membuat sejarah dalam hidupnya menjadi pabrik tekstil terbesar di Indonesia.

Sritex pernah mengekspor pakaian tentara ke banyak negara. Tidak hanya pakaian saja termasuk segala keperluan tentara yang terkait dengan produk tekstil, tenda, ransel, tempat tidur lipat dan segala turunannya.

Sang pendiri Sritex, Lukminto lahir di Kertosono, Nganjuk, 1 Juni 1946. Ia meninggal di usia 67 tahun. Bintangnya sangat baik. Ia satu kampung dengan tokoh wartawan yang kemudian menjadi menteri lima periode yakni Harmoko yang juga jadi Ketua Umum Golkar sampai akhir zaman Presiden Suharto lalu jadi ketua DPR/MPR yang akhirnya secara resmi mencabut mandat Pak Harto sebagai presiden. Harmoko pulalah yang mengajak Lukminto masuk Islam jadi mualaf. Naik haji. 

Pada masa itu usaha Lukminto maju pesat. Harmoko sendiri memiliki saham di Sritex sekitar 20 persen dan baru belakangan, setelah reformasi, saham itu dijual semua oleh Harmoko. 

Sepeninggal Lukminto Sritex diteruskan oleh dua pewarisnya yaitu anaknya, Iwan Kurniawan dan Iwan Setiawan. Sebenarnya Lukminto punya lima anak. Tapi yang tiga perempuan, Vonny, Lanny, dan Margareth. Anda sudah tahu jika di keluarga Tionghoa anak lelakilah yang mewarisi harta orang tua. Iwan yang satu jadi komisaris utama, Iwan satunya jadi direktur utama.

Di tangan anaknya ini Sritex terus berkembang luar biasa. Ke hulu. Ke hilir. Ke mana saja. Bahkan ke melonjak -lonjak. Bayangkan Investasi terbarunya adalah pabrik Rayon sebagai bahan baku benang tiruan. Rayon itu terbuat dari serat kayu yang sudah dijadikan Pulp. Bisa juga sebagai pengganti kapas. 

Investasi pabrik Rayon ini sampai menghabiskan Rp 7 triliun. Termasuk untuk membangun pembangkit listriknya dengan dua macam teknologi pembangkit sekaligus yakni batu bara dan diesel.

Mungkin" Iwan tidak mau hanya mengandalkan listrik PLN (Khawatir). Bisa juga  Iwan ragu kalau listrik PLN sudah sangat tangguh,andal dan murah. Padahal di eranya waktu itu "Ada pabrik tekstil yang menyesal dan bangkrut akibat membangun pembangkit sendiri sebab telanjur tidak percaya pada PLN, namun hal itu tak terbaca Sritex dan akhirnya mengalami hal yang sama pula kini.

Pabrik rayon Sritex itu dibangun di Wonogiri. Coba bayangkan bagaimana penyediaan bahan baku batu baranya. Apa tiap hari harus angkut batu bara pakai ratusan truk dari pelabuhan Semarang ke Wonogiri. Betapa mahalnya, berapa biayanya  ?.

Dua tahun lalu pabrik rayon itu berhenti beroperasi. Tidak sampai berumur dua tahun sudah mati. Seumur jagung. Investasi Rp 7 triliun sia-sia. Hanya angan.

Seandainya pun Sritex hanya mengandalkan listrik PLN dengan minta layanan khusus dilayani tiga gardu induk" masih belum tentu kompetitif. Karena apa, karena penyebab lainnya ialah pabrik rayon lain punya bahan bakunya sendiri yang bisa ditebangi di kebun sendiri kemudian dibuat pulp. Sedangkan Sritex tidak punya pabrik pulp sendiri. Apalagi hutan tanaman industri. Pulpnya Sritex beli dari perusahaan India di Purwakarta yaitu "Indo Bharat. Sritex memang sudah bergerak ke hulu dan melonjak -lonjak tapi masih ada hulu-hulu lanjutan yang belum ia masuki.

Sebenarnya pengadilan pernah memberi perpanjangan umur Sritex. Tapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Kala itu para kreditor mempailitkan Sritex. Utangnya senilai sekitar Rp 16 triliun macet. Baik kepada berbagai bank maupun ke para pemasok bahan baku, termasuk Indo Bharat.

Pengadilan memutuskan homologasi. Perdamaian. Diaturlah perpanjangan pembayaran. Agar beban Sritex lebih ringan. Sritex bisa menyicil utangnya. Ada jadwal penyicilan yang sudah disepakati. Pembayaran cicilan itu pun berlangsung lancar. Sudah empat bulan. Tiba-tiba Sritex mendapat info jika tagihan salah satu pemasoknya ( Indo Bharat ) sudah dibayar lunas oleh perusahaan asuransi. Nah" apakah lantas berarti Sritex tidak perlu menyicil lagi ke salah satu kreditornya itu "PT Indo Bharat.

Indo Bharat keberatan. Bahwa ia dibayar asuransi itu urusannya sendiri. Indo Bharat mengklaim pembayaran asuransi tidak ada hubungan dengan Sritex sebab Menurut keterangan Indo Bharat Ia memang mengasuransikan tagihannya ke Sritex. Ketika Sritex tidak bisa membayar perusahaan asuransilah yang membayar.

Atas lika - liku ini timbullah" Sritex menggugat Indo Bharat. Indo Bharat marah. Ia ajukan gugatan pailit ke pengadilan dan "Menang. Dalam perjanjian kesepakatan homologasi tertulis" begitu cicilan tidak dibayar Sritex langsung pailit. Pailit final.

Sayang sekali. Padahal cicilan ke Indo Bharat termasuk kecil dibanding cicilan ke yang lain. hutang ke Indo Bharat sekitar Rp 80 miliar dari total hutang Sritex Rp 16 triliun. Pengadilan pun dengan mudah memutuskan, Sritex pailit. Sritex nyata-nyata gagal bayar cicilan, apa pun alasan penyebabnya.

Tak berhenti, upaya untuk berkelit dari pailit terus diupayakan. Termasuk secara politik. Jumlah buruh Sritex yang mencapai lebih 30.000 menjadi "Kartu As".

Gagal" Maka tanggal 1 Ramadan kemarin resmi Sritex pailit. Pabrik ditutup. Hak-hak karyawan jelas PHK lalu menerima pesangon sesuai dengan hukum perburuhan yang berlaku. Semoga saja  Sritex masih punya uang di kasnya untuk pembayaran pesangon ini. Kalau tidak, harus menunggu Sritex laku dijual. Hasil penjualan perusahaan ini akan diprioritaskan untuk membayar pajak-pajak dan pesangon karyawan. Selebihnya dibagi secara proporsional kepada para kreditor.

Maka setelah ini akan ada lelang. Bisa terbuka. Bisa tertutup. Terserah kurator. Bisa dilelang parsial atau global. Terserah kurator. Bisa tanahnya dijual sendiri, pabriknya dijual sebagai besi tua, terserah kurator. Atau dijual ke pabrik tekstil lain yang ingin ekspansi. Terserah kurator. Maka pabrik-pabrik tekstil besar kini berlomba mengincar mayit Sritex. Tidak hanya pabrik di dalam negeri, pabrik tekstil dari luar negeri juga nglirik. Kini anda sudah bisa mengira hanya perusahaan tekstil dari Tiongkok yang mampu membeli mayit Sritex begitu mahalnya.

Lantas akan ke mana pewaris duo-Iwan putra Lukminto tadi ?Bisakah dua pewaris jadi pemilik baru Sritex? Dengan cara ikut lelang jadi pembeli dengan harga murah ?

Tidak boleh. Teorinya. Tapi banyak terjadi, orang sepertinya bisa pakai nama orang lain istilahnya ganti pemain. Namun rasanya duo pewaris ini tidak akan melakukan itu. Pertama, belum tentu dua bersaudara ini kompak. Kedua, mereka masih punya banyak perusahaan lain.

Iwan Kurniawan, dirut Sritex sepeninggal ayahnya, masih punya lima atau tujuh pabrik tekstil di luar Sritex sedangkan Iwan Setiawan tidak ikut di situ tapi juga masih punya usaha lain.

Sritex yang pailit hanya meliputi seperempat perusahaan. Jadi secara jumlah Iwan Kurniawan masih punya pabrik tekstil lebih banyak di luar Sritex. Di Boyolali. Di Semarang. Di Yogya. Hanya saja, secara nilai jika ditotal mungkin gabungan empat perusahaan baru senilai Sritex

Maka doa kubur yang harus dibacakan hanya untuk yang empat itu. Disertai doa semoga cepat bisa lahir kembali dengan berganti bapak. Lalu buruh yang sudah terima pesangon bisa melamar kembali ke pabrik baru entah apa namanya nanti.

Begitu bertubi- tubi berita gelap marak belakangan ini di tengah upaya menyalakan lampu-lampu harapan baru. Coba Anda hitung mana yang lebih banyak. Lampu yang mati atau lampu baru yang menyala lebih terang. (bumiarjo1)


( Catatan Dahlan Iskan )

Lebih baru Lebih lama