AYOSUROBOYO | Sebelumnya Pemerintahan Jokowi sudah berhasil menutup Pertamina Trading Energy Ltd. (Petral) pada tahun 2015. Penutupan Petral dilakukan sebagai bagian dari upaya reformasi di sektor energi untuk meningkatkan transparansi dalam impor minyak.
Petral sebelumnya merupakan anak usaha Pertamina yang berbasis di Singapura yang sering dikaitkan dengan praktik perantara dalam impor minyak. Banyak pihak menilai bahwa peran Petral membuka peluang bagi praktik percaloan dan korupsi dalam pengadaan minyak untuk Indonesia.
Setelah Petral dibubarkan, pengadaan minyak mentah dan BBM dialihkan langsung ke Pertamina melalui anak usahanya, Integrated Supply Chain (ISC), yang bertugas menangani impor minyak secara lebih transparan dan efisien. Namun sayangnya, di Pemerintahan Prabowo ini - Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina kembali diuji dengan perilaku dugaan kejahatan Mafia Perminyakan. ISC sedang menjadi sorotan dalam kasus dugaan mafia minyak yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Kasus ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pengadaan minyak mentah dan BBM di Pertamina.
Baca juga : Kronologi sejarah pulau Jawa dari tahun 10.000 sebelum Masehi
Beberapa laporan menyebutkan bahwa keluarga Riza Chalid, seorang pengusaha yang dulu juga dikaitkan dengan praktik percaloan di Petral, kembali disebut-sebut dalam kasus ini. Riza Chalid sebelumnya dikenal sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar dalam bisnis impor minyak di Indonesia, terutama di era Petral sebelum dibubarkan oleh Presiden Jokowi pada 2015.
Salah satu sumber" Maret Samuel menilai kejadian ini terus berulang dan melibatkan jejaring Mafia yang sama karena rusaknya Management di internal tubuh Pertamina. Orang-orang dan jaringannya yang dulunya sudah dinyatakan bagian dari masalah tetap saja melanjutkan aksinya bahkan semakin menjadi-jadi dan menggurita. Ibarat kata, Petral dan Mafia Minyak ini hanyalah ganti kulit atau pemain dan bahkan lebih bebas melakukan aksi kejahatan dengan melibatkan orang dalam yang kuat tentunya.
Bukan hanya Mafia Migas yang mengemuka. Saat ini Pertamina juga sedang menjalankan beberapa proyek strategis berskala besar di sektor energi, terutama di kilang minyak, Petrokimia, dan energi hijau yang sangat syarat dengan penyimpangan dan potensi Korupsi yang bisa mengakibatkan kerugian Negara.
Berikut adalah beberapa data proyek raksasa Pertamina beserta perkiraan nilainya:
1. Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP).
RDMP bertujuan meningkatkan kapasitas dan kualitas produk di kilang-kilang Pertamina. Nilai proyeknya mencapai USD 48 miliar. Proyek ini mencakup:
RDMP Balikpapan (USD 7,2 miliar)
RDMP Cilacap (dalam tahap kajian)
RDMP Balongan (USD 3,8 miliar)
RDMP Dumai (dalam perencanaan)
RDMP Plaju (dalam kajian)
2. Proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban. GRR Tuban adalah pembangunan kilang baru untuk meningkatkan produksi bahan bakar dan Petrokimia. Nilainya sekitar USD 14 miliar.
3. Proyek LNG & Gasifikasi Batu Bara (DME Project). Proyek ini bertujuan mengembangkan pemanfaatan gas alam dan batu bara menjadi produk turunan seperti DME (dimethyl ether) sebagai pengganti LPG. Nilainya sekitar USD 2,1 miliar.
4. Proyek Pengembangan Energi Hijau & Biofuel. Pertamina juga mengembangkan energi hijau, seperti: Green Refinery Cilacap dan Plaju (biodiesel dan bioavtur), nilai investasi USD 500 juta - 1 miliar. Pembangunan PLTS di berbagai lokasi. Pengembangan Hydrogen & Carbon Capture Storage (CCS).
5. Proyek Petrokimia (Pertamina Rosneft & Chandra Asri). Kiln Petrokimia Tuban (kerja sama dengan Rosneft), investasi sekitar USD 3,5 miliar.
Kemitraan dengan Chandra Asri dalam pengembangan Petrokimia Total nilai proyek-proyek strategis Pertamina saat ini diperkirakan mencapai lebih dari USD 70 miliar atau sekitar Rp 1.100 triliun.
Meskipun ISC dibentuk untuk menggantikan peran Petral dengan tujuan meningkatkan transparansi, kasus yang sedang diselidiki Kejagung menimbulkan pertanyaan apakah praktik mafia minyak masih terjadi di lingkungan Pertamina.
Saat ini, Kejagung masih terus mendalami bukti-bukti dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini. Kejaksaan Agung juga sudah mulai membidik potensi dugaan penyimpangan keuangan Negara dalam proyek-proyek Raksasa Pertamina tersebut mengingat Rakyat sangat menaruh harapan satu-satunya ke Kejaksaan karena APH lain seperti Kepolisian dan KPK bungkam terkait kasus ini.
Pertamina memang harus berubah, harus diisi oleh orang yang profesional dan berani. Selama ini hanya mengejar Mafia ditingkat Pimpinan dan Kepalanya saja padahal pelaku utamanya ada ditingkat eksekutor yaitu di Anak Perusahan bahkan Cucu Perusahan termasuk Pimpinan Proyek (Project Manager).
Anak dan Cucu Perusahan serta semua Project Manager ini harus diperiksa semua termasuk mengejar siapa Komisaris dan Direksinya, ganti semua yang tidak profesional apalagi disinyalir terlibat praktek Koruptor dan Mafia. Ganti dengan orang-orang yang profesional dan punya reputasi bagus bekerja di Perusahan Minyak dan Gas Bumi diluar Pertamina misalnya dari Perusahan EPC swasta baik asing maupun dalam negeri.
Jika hal diatas tidak dilakukan maka Pemerintahan Prabowo akan mengalami kegagalan yang sama dan kalah dari Mafia Minyak bahkan bisa -bisa juga dianggap mengetahui perihal itu. Prabowo harus cermat dan hati-hati untuk mendengar para pembisik atau informannya yang bisa saja memberi informasi yang salah karena pesanan para Mafia tersebut.(bumiarjo1).