Ayosuroboyo |"Kartinah Kurdi mulai menjadi anggota Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) cabang jakarta pada tahun 1950-an. Pada Kongres di Surabaya Kartinah hadir karena dirinya selaku Ketua Gerwis Jakarta. Sedangkan Ny. Pardede, dan pengurus lainnya Tanti Aidit, tak hadir kala itu karena hamil.
Keterangan foto: Kartinah Kurdi |
Pada Kongres Surabaya inilah, Kartinah mengisahkan tentang perdebatan keanggotaan Gerwis. Beberapa kader meminta agar keanggotaan Gerwis diperluas bukan hanya bagi para perempuan yang sedar (punya kesadaran ideologis dan politis), tapi juga bagi seluruh perempuan Indonesia.
Akhirnya usulan yang terpetik di Surabaya ini terealisasi dalam Kongres II Gerwis yang digelar di Jakarta. Dimana dalam perjalanannya Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Baca juga : Ibu Tien Soeharto
Kartinah dalam Kongres ini ditetapkan menjadi Sekjen. Ketika pada tahun 1959, Kartinah ditarik menjadi anggota DPRGR berikut posisi Sekjen yang kemudian beralih kepada Masyesiwi. Sedangkan Kartinah menempati posisi Wakil Sekjen bersama Sulami.
Baca juga : Korp Wanita Tentara Hindia Belanda Sedang Baris-berbaris. Batavia 19 Maret 1948
Kala itu, Gerwani termasuk salah satu organisasi yang masuk keanggotaan GWDS (Gabungan Wanita Demokrasi Dunia). Hal ini menjadikannya Kartinah mewakili Gerwani untuk dikirim ke Berlin, Peking, Moskow, dan Cekoslowakia. Padahal rencananya melalui Kongres Gerwani pada Desember 1965 akan diputuskan apakah Gerwani akan berafiliasi (onderbouw) dengan PKI atau tidak, namun saat itu peristiwa G30S terjadi.
Ia (Kartika) ditangkap saat berada di asrama anggota DPRGR di Senayan. Ikut bersamanya dalam penangkapan pada bulan Oktober 1965 itu adalah, Ketua Umum Gerwani" Umi Sardjono yang juga anggota DPRGR dari Fraksi Golongan Karya, Wakil Ketua Gerwani Salawati dan Ny. Mudigdo (anggota DPRGR dari Fraksi PKI dan Dahliar (anggota MPRS asal Sumatera). Sejarah kemudian mencatat, sebanyak 136 anggota DPRGR/ MPRS telah ditangkap.
Kartinah dijebloskan ke penjara Bukit Duri. Dirinya terkejut, disana ia melihat cukup banyak tahanan perempuan usia 13-16 tahun yang tak ia kenal. Perempuan tahanan remaja inilah yang dikutip media massa, terutama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, sebagai para perempuan "Gerwani" yang menari-nari telanjang di Lubang Buaya dan mencungkil mata para jenderal.
Foto para anggota Gerwani saat dipenjara akibat dianggap terkait PKI //blog.umy.ac.id/ |
Kartinah marah kepada mereka namun mereka mengatakan" bahwa semua tanya jawab soal Lubang Buaya itu sudah dibikin oleh pemeriksanya dan kami hanya disuruh membubuhkan cap jempol.
Kartinah dan para pimpinan Gerwani (terutama mereka yang menjabat sebagai anggota DPRGR/MPRS selama dalam masa tahanan tidak mendapat penganiayaan fisik. Mereka ditempatkan di sel yang terpisah dan tidak boleh berkomunikasi dengan tahanan lain.
Baca juga : Pengasingan Presiden Soekarno
Lalu pada, Tahun 1978 Kartinah yang dipenjarakan tanpa melalui sidang pengadilan dibebaskan. Kartinah lantas tinggal bersama enam orang anaknya di rumah mertuanya di Kroya dan kemudian pindah di Jakarta dengan putri keduanya.
Ia, menceritakan, setiap kali dirinya melintas di Pondok Gede, ia akan melongoskan tatapannya dari arah jalan yang menuju Lubang Buaya. "Seumur hidup saya tak akan menginjakkan kaki ke sana. Tempat itu haram bagi saya," demikian ujar Kartinah, wanita kelahiran Yogyakarta 26 Juni 1927.
Bersama Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) Kartinah pernah menuntut agar pemerintah mencabut relief pada monumen Pancasila sakti yang menggambarkan perempuan berkalung bunga yang menari-nari diantara jasad para jenderal. Namun tidak ada tanggapan. [bumiarjo1]
Sumber:
1. buku "Kembang-kembang Genjer"