SELAMAT DATANG DI SITUS BERITA AYO SUROBOYO NUSANTARA BARU INDONESIA MAJU
SEJARAH YOGYAKARTA

SEJARAH YOGYAKARTA

PEMBUBARAN LEGIUN PAKUALAMAN (1892)

Ayosuroboyo | Pada 20 Maret 1883 P.A.A. Prabu Suryo Dilogo resmi menyandang gelar Paku Alam V dengan pangkat kolonel. Di samping itu, Paku Alam V juga dianugerahi medali "Ridderkruis van den (Orde van) Nederlandschen Leeuw (Salib Kesatria dari Ordo Singa Belanda)". Sayangnya, pada 1892 korps bersenjata yang pada 1870 dimekarkan menjadi separo batalion infanteri dan kompeni kavaleri secara resmi dihapuskan.

Tidak dapat dipungkiri demiliterisasi ini mengecewakan P.A. V dan dari beberapa segi mengurangi kewibawaan istana Pakualaman.

Prabu Suryo Dilogo
Prabu Suryo Dilogo

Pada dasarnya P.A. V menaruh perhatian besar terhadap eksistensi legiun. Pengeluaran sehari-hari anggota legiun berasal dari kas Kadipaten Pakualaman, walaupun gaji para opsir masih berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda. 

P.A. V juga mengupayakan hiburan untuk prajurit legiun setelah mereka suntuk berlatih setiap hari. Di pelataran timur Puro Pakualaman acapkali diselenggarakan pertunjukan janggrung, sejenis tayub untuk menghibur mereka. (Ringkesaning Wawaton, t.t.: 17).Pembubaran Legiun Pakualaman sama sekali tidak dibayangkan oleh para anggota legiun.

Pada hari pembubaran yang masih dirahasiakan mereka mendapatkan perintah dari komandan legiun untuk membawa senjata dengan segenap perlengkapannya ke Puro Pakualaman karena akan diganti dengan senjata dan perlengkapan yang baru. Para anggota legiun datang ke puro dengan suka cita. Namun, mereka mendadak berubah menjadi sedih karena mereka baru mengetahui bahwa pada saat itu legiun dibubarkan. 

Para anggota legiun tersebut ditawari untuk bergabung dengan Tentara Hindia Belanda (Nederland Indische Leger). Akan tetapi, tidak semua prajurit dapat memanfaatkan kesempatan itu.Hanya prajurit muda yang masih sehat dan gagahlah yang dapat memenuhi tawaran itu. 

Sebagian yang lain, terutama yang sudah tidak muda lagi terpaksa menerima nasib. Semua opsir sepakat tidak memanfaatkan peluang menjadi anggota NIL. Mereka memilih mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Mereka tetap diizinkan mengenakan seragam legiun sesuai dengan pangkatnya masing-masing jika diperlukan. Kepada para opsir itu kemudian diberikan sejumlah kompensasi (Ringkesaning Wawaton, t.t.: 20).

Suasana Puro Pakualaman setelah pembubaran legiun menjadi sunyi dan lengang. Biasanya terdengar bunyi tambur yang dipalu dengan bersemangat dan terompet yang melengking dengan gagah. Di samping itu, tidak terlihat lagi prajurit yang berlatih dengan bersemangat. Kampung-kampung di sekitar puro juga terasa sepi (Ringkesaning Wewaton, t.t.: 20). 

Lebih baru Lebih lama